Selasa, Desember 22, 2009

Berkelana Di atas Gelombang Estetika (album "...Laju" - Bonita)



Mendengarkan album "...Laju" dari Bonita ini seperti menjelajah negeri dongeng yang terpendam dalam setiap sanubari umat manusia. Hampir semua lagu-lagu yang diciptakan, dipilih dan dibawakan oleh Bonita pada album ini berpotensi membuat kita semua melamun dan terbang.

Mendengarkan album "...Laju" dari Bonita ini membuat kita kembali disadarkan bahwa sebuah karya musik tidak lah perlu harus hingar bingar dan jor-joran untuk mendapatkan sebuah impact yang kuat. Kesederhanaan eksekusi pada tiap-tiap lagu membuat lagu-lagu dalam album ini menjadi mencuat kepermukaan sehingga masing-masing bisa jadi sebuah nomor yang memiliki independensi di telinga kita semua.

Album ini benar-benar seperti sebuah papan selancar yang digunakan oleh Bonita untuk menjelajahi gelombang estetika bermusik mereka. Kenapa saya sebut mereka? karena tanpa kehadiran musisi-musisi dan produser yang bisa bersinergi dengan Bonita maka akan sangat sulit mencapai tingkatan seperti ini. Di gawangi oleh Yuka Dian Narendra dan juga sang suami Adoy (P.B. Adi), bisa disebut Bonita ada dalam jalur yang tepat untuk mengekspresikan karya-karyanya.

Lagu yang berjudul "Rumahku" karya Bonita & Boris Simandjuntak (gitaris dari Flower) membuka album ini. Semburat kesederhanaan dan masa kecil menyeruak dalam komposisi ini. Sebuah sambutan yang menyenangkan. Dan lucunya album ini juga diakhiri oleh sebuah lagu yang bernuansa kanak-kanak yang berjudul "Jatuh Cinta", sebuah representasi jatuh cinta ala Bonita? well we should ask Bonita for this.

Selain lagu "Komidi Putar" yang juga dipakai untuk film Sang Pemimpi (MiLes), coba simak lagu "Telur" dan "Pengulangan" cukup membuat saya kembali mengulang beberapa kali untuk menyimak lagu-lagu yang menarik ini. Seperti memperhatikan seorang anak yang sedang bergumam asik dengan dunianya, dan karena anak ini adalah Bonita, maka jadilah lagu-lagu ini seperti yang kita dengarkan.

Kedalaman lirik yang puitis juga sebuah nilai yang buat saya tidak bisa diindahkan. Kebanyakan lirik dibuat oleh Bonita sendiri dan didapatnya dari kontemplasi dalam diri selama perjalanan hidupnya. Simak lagu "Dendangku":

ketika cinta berbalik
membunuhmu
maukah kau mati ditangannya
hidup dengan benci yang mendalam
meraungkan pilu yang
menyayat hati


Pada lagu ini Bonita seperti menyuarakan sebuah aftermath dari peristiwa yang telah terjadi dalam hidupnya.
Pada lagu "Mellow", Bonita mencoba menggambarkan bagaimana ia menikmati suasana "mellow" yang bagi sebagian orang adalah sebuah suasana muram.

Tema bersyukur banyak digunakan oleh Bonita, yang saya duga mungkin memang dengan album ini Bonita mencoba mengekspresikan perasaan bersyukurnya atas hidup yang telah ia lalui selama ini. Dan salah satu lagu yang menurut saya berhasil merefleksikan rasa syukur seorang Bonita adalah pada lagu "It's Over Now"

Satu hal yang agak mengganggu dalam album ini adalah cover CD. Saya mengagumi artwork yang digunakan pada album ini. Ilustrasinya boleh dibilang sangat menarik dan pas, tapi pemilihan warna dan type membuat kita agak kesulitan untuk membaca judul-judul lagu di bagian belakang cover CD tersebut. Pemilihan warna background (dark pink) dan tulisan (hitam) pada ukuran fonts sekecil itu pun jadi menyulitkan untuk dibaca pada bagian Ucapan Terimakasih. Ya secara artistik keseluruhan memang menarik tapi secara desain masalahnya ya itu tadi.

Over all, saya merekomendasikan album "...Laju" dari Bonita ini untuk disimak, terutama bagi yang ingin merasakan berkelana di atas gelombang estetika musik ala Bonita.

Tracklist:
  1. Rumahku
  2. Komidi Putar
  3. Telur
  4. Pengulangan
  5. Dendangku
  6. Bangun
  7. Hari Ini
  8. Pena
  9. Mellow
  10. Ari
  11. Tinggal
  12. Kelana Bersama
  13. You Cheer Me Up
  14. It's Over Now
  15. Reprise
  16. Jatuh Cinta

Jumat, Desember 11, 2009

Darah Baru Javajazz 2009




Menyaksikan konser tunggal Javajazz dengan formasi baru tanpa mendengarkan album mereka terlebih dahulu menjadi tantangan tersendiri buat saya. Mengapa tidak? Sekitar 11 tahun yang lalu saya menonton konser mereka dan saat itu pun musik mereka sudah membuat saya terpukau. Dan pada tanggal 10 untuk pertama kalinya semenjak konser terakhir mereka, Javajazz kembali tampil, dan tidak hanya itu. Kita tahu alm. Embong Rahardjo sudah meninggal beberapa saat yang lalu, dan saat ini kali pertama juga Javajazz tampil tanpa alm. mas Embong Rahardjo. Bisa dibayangkan kenapa saya deg-degan, diantara ekspektasi dan tanda tanya berkaitan dengan seperti apa musik Javajazz formasi baru pada saat mereka tampil.

Seperti kita ketahui, formasi baru Javajazz yang tampil pada konser tunggal yang sekaligus menandai diluncurkannya album baru mereka yang berjudul "Joy Joy Joy", bukanlah formasi yang benar-benar baru, tapi lebih pada formasi pertama mereka plus digantikannya posisi alm. mas Embong Rahardjo (sax & flute) dengan Dewa Budjana (gitar) yang juga anggota Javajazz formasi kedua, dimana pada saat itu (1993), formasi mereka hampir seluruhnya baru kecuali Indra Lesmana dan mas Embong (gitar: Budjana, drum: Cendy Luntungan, perkusi: Ron Reeves).

Banyak yang menyangka hadirnya Budjana pada formasi terakhir Javajazz ini untuk menggantikan alm. mas Embong, tapi buat saya memang tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan alm. mas Embong, dan memang itu pula yang saya dapati pada konser malam itu. Kembalinya Budjana tidak dipungkiri memberikan darah baru dan warna tersendiri, dan ini menjadikan Javajazz seperti dilahirkan kembali dengan penampilan dan warna baru.
Dewa Budjana & Donny Suhendro
Dewa Budjana & Donny Suhendro
Memiliki dua gitaris dalam satu band merupakan suatu hal yang biasa, tapi memiliki seorang Dewa Budjana dan Donny Suhendra dalam satu band itu menurut saya adalah hal yang luar biasa. Mengapa tidak? Memiliki dua gitaris sekaliber mereka berdua diatas yang sama-sama memiliki kemampuan diatas rata-rata tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi kedua gitaris ini punya karakter bermusik dan jenis pilihan sound mereka sendiri. Namun justru dengan kematangan bermusik yang mereka miliki, mereka berhasil meramu dan membagi porsi masing-masing dalam tiap-tiap lagu tanpa saling "memakan". Pendekatan progresif Budjana dengan sound gitar yang rough dan cenderung rock kontemporer ditunjukkan dalam lagu yang berjudul "Border Line" dan "Java's Weather" serta Budjana juga memainkan Banjo pada beberapa nomer seperti pada "Exit Permit". Budjana sangat menonjol pada kebanyakan lagu-lagu baru yang ditampilkan pada album ini. Sementara Donny dengan ciri fusion nya yang khas sangat ketara pada lagu-lagu yang diambil pada album-album sebelumnya seperti "The Seeker" dan "Bulan di Atas Asia".
Indra Lesmana dengan Breath Controller
Indra Lesmana dengan Breath Controller
Lalu bagaimana peranan alat musik tiup yang pada album-album sebelumnya sangat menonjol dengan adanya alm. mas Embong? Pada porsi ini, Indra Lesmana yang memang selama beberapa tahun terakhir menunjukkan ketertarikan terhadap alat musik Pianika (setidaknya inilah alat baru yang sering digunakan oleh Indra saat di panggung), mencoba mengangkat spirit alm. mas Embong saat beliau masih di Javajazz. Bukan hanya pianika elektronik yang sering ia gunakan tapi juga ia menggunakan breath controller untuk mengatur velocity (kuat tidaknya suara yang keluar) pada keyboardnya. Efek yang didapat ya hampir menyerupai alat musik tiup hanya memang tidak bisa semulus saxophone, karena sangat dibatasi oleh balok-balok keys.
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan
AS Mates
AS Mates
Gilang Ramadhan dan AS Mates bisa disebut sebagai penjaga ritem yang sangat disiplin. Berbeda dengan Cendy Luntungan yang ekspresif, Gilang menunjukkan style bermain yang mengkombinasikan power dan disiplin. Seperti seorang drummer rock dengan pendekatan kontemporer jazz. Sementara Mates juga bermain dalam pagar-pagar chord dengan disiplin. Ya persis seperti Mates yang saya bayangkan.
Indra Lesmana & Dewa Budjana
Indra Lesmana & Dewa Budjana
Javajazz 2009
Javajazz 2009
Secara keseluruhan konser tunggal mereka memang menyuguhkan nafas baru yang menurut saya pribadi cukup menyegarkan, dan sangat saya rekomendasikan unuk di tonton. Satu hal yang agak mengganggu mungkin datang dari sound system yang menurut saya agak kurang seimbang (balance), atau mungkin juga kapasitas speaker yang tidak memadai. Dimana sepertinya suara gitar Budjana terlalu keras sehingga suara yang keluar sering agak pecah. Di beberapa saat suara Banjo Budjana pun sempat hilang-hilang beberapa kali, ya sedikit banyak buat saya cukup mengganggu. Diluar komposisi mereka yang cukup segar tersebut.

Jakarta, 11 Desember 2009